Posts

Showing posts from 2017
Image
Jika saya ditanya apa cerpen kegemaran: saya akan menjawab, "Dunia Adalah Sebuah Apartmen" hasil Sasterawan Negara Anwar Ridhwan. Pertama, saya memang menyukai latar apartmen. Ia misterius, tinggi dan sepi. Kedua, Anwar Ridhwan amat cool pada saya. Bahasa mudah, kemas dan mendakap segala kemungkinan. Ayat-ayat ukiran beliau tidak melewah, malah diekonomikan. Ya, saya mencintai ilham AR, kerana, mungkin benar - dunia adalah sebuah apartmen? Saya perhati, tetangga  di atas sering bertelingkah berkenaan anak, rumah, bil-bil atau barangkali soal rezeki. Namun, jarang-jarang saya terserempak dengan mereka, meski setiap hari saya mendengar celoteh, pekik serta ketawa seluruh keluarga sehingga menggaung bangunan ini.  Mungkin, ya mungkin, dunia ini sebuah apartmen tua - masih ramai mengunjungi, menyewa atau membeli. Dan siapalah tahu, jika Tuhan pernah mengetuk pintu ketika dinihari? Kita anggap Ia hantu atau semangat-semangat silam yang hilang kemudian kita melanjutkan l
Image
Aku merinduimu, selalu. Aku mengingatimu, selalu. Setiap kali kaulihat dedaun luruh kering perang- ketahuilah, bahawa aku ada di antara reranting itu.  Yang benar-benar menunggu, QA.
Image
Saya kembali ke ruang ini. Kalendar sudah menandai 1 Jun, maka separuh tahun 2017 berjalan memenuhi kehidupan. Kita menapak ke Ramadan ketujuh. Sepurnama saya tidak menyisipkan fikiran di sini.  Sedikit saya ingin berbahagi - bahawa waktu adalah takdir, takdir adalah waktu. Bukankah kedua-dua saling bekerja untuk kelangsungan manusia? Nukleusnya : hikmah. Maka bersabarlah, wahai jiwa-jiwa polos. Saya sedang mendepani keresahan di hujung lidah dan beban kegundahan di antara alis yang memberatkan mata. Fajar merekah sesudah lengkingan santun azan menghimpunkan segala kedukaan tatkala sujud. Ah, warna pagi sememangnya meluntur jatuh pada bumbung-bumbung rumah tetangga lalu mengalir memasuki mimpi. Aneh, warnanya gagal membenamkan kerinduan ini yang berlapis-lapis, seperti bertahap-tahap. Hari diawali dengan mengingati kenangan yang menyenangkan. Kemudian berkalih ke musim kehidupan yang persis musim rontok di Paso Robles - sejagat padang jingga disertai dedaun maple merah! Ya, bu
Image
Untuk sementara, saya menghilangkan diri sebentar. Keterikatan dengan rutinitas media sosial yang penuh kepura-puraan dan keanehan melukakan sukma. Saya berkeputusan untuk berkelana ke negeri kosong tidak bernama bertempat di penjuru jiwa saya. Di situ terbentang taman lengang, diisi sebuah bangku tua bertemankan beberapa pohon yang kering. Ya, seperti foto di atas, begitulah latar nubari saya. Segala-galanya sunyi dan sendiri. Tetapi bukankah itu hakikat diri seorang insan - senyap dan sendiri? Mungkin ini waktu paling tepat saya menemukan diri. Setidak-tidaknya, saya berintrospeksi - memahami atmosfir jiwa yang maha-sepi ini.
Image
Jika kata-kataku menjadi seribu perahu ia akan menanggung muatan suaraku merentasi laut fikiranmu- biar biru-mu berombak lagu 16 April 2017 Saya banyak memendam fikiran baru-baru ini. Alangkah penat asyik menyimpan rasa yang tidak ada kepastian. Pada penghujung hari, keletihan menidurkan dan saya akan memasuki lorong mimpi dan menyuakan wajah-wajah tidak dikenali atau mengalami pengulangan peristiwa - dejavu. (Ia proses yang melelahkan). Saya memendam lagi. Untuk apa, saya juga tidak ada jawapan. Namun, saya sangat berwaspada menyusun kotak-kotak ucapan seperti bermain Scrabble. Berkubus-kubus membentuk sebuah perkataan. Demi menzahirkan fikiran, saya mengatur rapi kalimat agar tidak berlaku sebarang penyimpangan maksud. Jika saya ada magis, saya mahu tukarkan kejadian kata-kata sebagai seribu perahu, kemudian saya layarkan di laut. Dengan berbekalkan keyakinan terhadap bimbingan pawana - Ia akan memimpin seribu perahu ke ruang yang lengang dan suara nubari ini
Image
Penyakit lupa (Alzheimer) sangat menakutkan. Itu perihal yang menggusarkan saya selepas kematian dan laut. Mengingati sebenarnya satu rahmat - ia lintasan sejarah di ruang futur agar kita tahu di mana pernah kita menemukan titik kehidupan yang berjungkir-balik. Saya mula mengandaikan bahawa kebanyakan kita tidak takutkan ketuaan tetapi kealpaan. Kelupaan yang amat dahsyat - seolah-olah imaji terpadam oleh waktu. Persis falsafah keluruhan bunga sakura di Jepang; manusia mahu dikenang seindah-indah kesuma yang gugur di laman memori seseorang. Diingat-ingatkan keperibadiannya sepanjang jalan zaman. Saya akui, saya turut mahu mereka mengingati setelah kepulangan- tetapi jika mereka juga sudah kembali? Siapa akan melangsungkan tradisi ingat-mengingati? Akhirnya saya tersedar - kita akan tetap dilupakan. Yang signifikan adalah keberadaan kita selama hayat dikandung badan. Adakah ingatan boleh diwarisi kepada orang asing?  Seperti tokoh-tokoh, para wali; nama-nama mereka tetap di
Image
"Sekarang semuanya instan (telefon memberi maklumat secara instan) fikiran jadi instan, maka kehidupan juga instan." ini dibilang dari bibir tua Ibu KZ, ketika saya di IDE, mendengar imbauan sejarah beliau bersama W.S Rendra dan Usman Awang (semoga mereka bahagia di sana). Alhamdulillah, kita sudah memasuki lorong Rejab;  lalu memanjang ke ambang Syaaban pula. Saya mengamati hal-hal kelmarin; tahun ini amat 'segera.' Sesegara capaian info menerusi satu klik dalam ponsel pintar - juga arus internet dari cabang data beribu. Instan seperti Ibu KZ katakan. Cepat amat sehingga saya tercicir urusan kelmarin di gendongan, didatangi pula urusan baharu hari ini. Setiap saat begitu. Gantungan kalendar di muka dinding seakan terpaksa melingkar sendiri tarikh dengan spidol tinta merah. Ternyata kita terlupa untuk kembali kepada waktu yang telah dibahagikan kepada kotak-kotak berangka. Kita sangat sibuk. Ya, sibuk. Ha, kesibukan yang sukar ditandai penamat. Kesibukan yan
Image
Momen silam mampir dan mengelus ubun-ubun saya. Saya teringatkan wajah terakhir almarhum Ayah sesudah menyalami tangan di kamar hospital yang amat intens. Saya teringatkan kemesraan sahabat-sahabat lama - mereka sudah memasuki persimpangan lain jauh dari jalan kehidupan saya. Saya belum dewasa- tetapi memori seolah semakin mengelabu dan menua. Hujan sore tadi memberi kedukaan yang nikmat. Renungan Bonda persis lorong sejarah yang berjelaga dan berlumut. Mungkin, Bonda berhenti melewati laluan kenangan itu yang kaku dan keras. Aneh, saya boleh rasai betapa mesin pikiran Bonda adalah pawagam kecil kosong tidak dikunjungi sesiapa dan memutar-ulang peristiwa. Sepanjang keluruhan hujan lewat senja tadi; dalam angan, saya merasakan kerinduan adalah beberapa kuntum teluki; merah dan molek di penjuru jiwa. (Dan Angin seusai hujan seolah-olah berbicara sesenyapnya- tentang cerita Ibu Rabiah dari wilayah sunyi)
Image
Hari Sabtu dan kami sekeluarga memasang lagu-lagu dari era 40-an sehingga 60-an, mendengar bersama-sama. Kami sekeluarga sangat mencintai musik. Antara penyanyi yang kami gemar - Nat King Cole, Frankie Avalon, Doris Day dll. Amat lunak dan saya seakan membaca kenangan di kejernihan sepasang mata Bonda. Adakah Bonda merindukan fragmen momen muda remajanya? Adakah Bonda merindukan fragmen peristiwa bersama mendiang Ayah yang sering mendendangkan My Way di pentas malam- Frank Sinatra? Saya cuba menempatkan diri pada gelanggang silam Bonda - bagaimana rasa menumbuh-besar dalam sanggar musik? Sedang saya mendengar Doris Day ketika menaip entri kecil ini - saya mengharapkan Bonda tetap berasa molek di jiwa meskipun senja membenam di dadanya- dan lagu-lagu ini terus berputar di rumah usang kami. Allah ya Allah.  Since you went away the days grow long and soon I'll hear an old winter's song but I miss you most of all my darling when the autumn leaves start to fall...
Image
Saya sering melihat diri sebagai gantungan daun-daun jingga berombre perang di jemari dahan ketika musim luruh yang menunggu takdir menggugurkan. Namun saya mungkin juga bukan sehelai daun molek seperti daun mapel dari getah pohon sugar maple yang manis (kemudian dirampai menjadi sirap mapel dihidangkan bersama lempeng) atau santun harum daun kesidang yang disisipkan di sanggul anak-anak gadis sebagai malai. Saya mungkin - selut sesudah hujan membersih tar- atau debu di padang fikir kontang yang mereka hindari terkena pada wajah. Sedang rengsa. Uruskanlah jiwaku.
Image
Lagi episod tentang Waktu. Saya menyelak helaian-helaian keramat kitab terpuji itu - cuba menyingkap rahsia antara huruf-huruf purba. Benarlah - Waktu diukur - mengikut gerak tari matahari, bulan dan orbit. Menghitung waktu seperti membikin lukisan abstrak - namun bukankah kita sering melakukannya - pada beberapa arus peristiwa? Kita menghitung waktu ketika menjangkakan hal-hal akan datang. Kita berwaspada merencanakan sesuatu keakanan agar tidak bertembung sejarah. (Menemui sejarah di ruang futur amat menakutkan - seolah-olah dikembalikan ke gelanggang silam!) Antara wajah kenangan dan sangkaan; jarum tetap berputar di dada arloji - yang belum tentu dikuasai waktu!
Image
Dia merentasi Waktu. Dialah yang meniup ruh kepada Waktu lalu menggerakkannya. Saya percaya - ketika mata Waktu terbuka; dari saat hingga zaman; Ia adalah petala sejarah yang tebal dan bertangga-tangga. Hakikatnya; sekarang kita berada di antara selingan zaman yang bercampur-aduk warna kenangan dan masa hadapan. Mata fikir saya menyaksikan seribu peristiwa - dari alam Rahim sehinggalah di mana saya berada kini- di hadapan skrin komputer dan menaip entri kecil ini. Saya melihat saya sedang menaip tentang Waktu dan segala-galanya cuma repetisi. Aneh, saya terasa benar-benar kerdil, malah untuk sekian lama - saya sungguh takut pada ketentuan (sedangkan kita dididik untuk yakin kepada ikrar Qada' dan Qadar?)  Dalam mimpi saya bertemu dengan Sang Pencinta yang memiliki filsafat ampuh- meski dalam kesamaran wajah - kami bersama jatuh ke lembah ketidaktahuan lalu kami dikembalikan ke kota tidak bernama - kota itu berona kelabu dan riuh. Sekali lagi, kami jatuh ke lembah yang sam
Image
  Kalau menebang si pohon jati, Papan di Jawa dibelah-belah; Kalaulah hidup tidak berbudi, Umpama pokok tidak berbuah. Burung jeladan singgah di huma,  Anak balam turun ke paya;  Budi laksana sinar purnama,  Manusia alam menumpang cahaya.  Mata keruh Bonda seperti larutan cahaya jingga sore menumpah ke padang gandum - begitu saya persiskan setiap kali saya pulang dan menemuinya. Ya, ketuaan yang jernih meskipun lapisan mata sudah semakin keruh dan kelabu. Namun kemudaannya masih berbaki di antara seribu kedut dan kerut yang menandakan usia Bonda menjengah ke lingkar kepikunan. Saya diingatkan berkali-kali sepanjang tumbuh-besar bersamanya; "berbuat baiklah, dan percaya kepada-Nya.." kalimah azimat terpacul dari bibir milik Bonda yang lebih memilih diam dan sesekali melontar bahasa ranum untuk pikiran kami yang mentah-merah. Seakan terlatih dengan sabda keramat Bonda, saya berpegang sesungguhnya walau adakala terikut arus emosi sendiri. Ternyata konsep ba
Image
Kutangkap doamu dalam mimpi yang sekejap-- namun harapannya panjang. Setelah terjaga - doa itu menjadi embun yang menunggu gugur di kakiku. (Februari 2017) Musim hujan di Bangi meluruh-luruh garang setiap kali menjelang sore. Amat dingin cuaca memberkas kami di sini sehinggakan saya jatuh sakit kesejukan. Meskipun hujan adalah rahmat yang sangat didambakan- tetapi saya tahu - ini juga perihal yang menduga-duga. Aduhai, ufuk pandangan saya sukar untuk menjadi mendatar lurus memanjang- sebaliknya meruncing dan senjang. Kesesakan kota dengan limpahan gerimis ada ketika memeningkan. Hujan menduga-duga kita. Hujan mendidik nurani kita. Hujan melahirkan embun yang seperti anak-anak air kecil lalu gugur di kaki (persis anak gelombang berkejaran di pinggir pantai!) begitulah saya umpamakan. Namun syukur saya sisip dalam kesibukan dan keletihan. Hujan mengilhamkan. Hujan menyabarkan - betapa kita tidak boleh menahan musim daripada berkalih cuaca - atau cuaca berkalih warna. Saya mu
Image
Kenangan demi kenangan mampir, mendekati saya seolah angin yang menderu, memburu. Semua hal ketika saya kanak-kanak seperti melewati proses reinkarnasi dan kembali mendapatkan saya yang sudah melepaskan cagaran memori. Seorang sahabat lama berhubung semula pada saya, menanyakan khabar dan menceritakan keghairahannya membaca buku. Saya tersenyum mendengar, sesekali saya pula melontarkan pertanyaan tentang rekomendasi buku. Ada memori paling jelas dan pekat warna melapisi pandangan saya ketika kami saling berbicara; iaitu memori saya bersama Bonda. Saya diasuh membaca buku dari kecil, menerusi buku-buku kisah dongeng, misalnya Snow White, Cinderella, Rapunzel dll. Juga Enid Blyton pernah menjadi sebahagian besar keluarga kami. Rapi tersusun, bersiri-siri pula. Bonda amat mencintai buku-buku. Membaca masih sebagai rutinitas Bonda sehinggalah sekarang. Memori paling manis adalah ketika saya dan Bonda- kami berdua sahaja ke sebuah toko buku di Petaling Jaya (kini sudah tiada) dan Bon
Image
Dapur sering diasosiasikan kepada Wanita. Di situlah kedudukan wanita, suatu ketika dahulu (malah masih bergerak budaya begini). Begitu wanita dalam masyarakat Melayu lama; di situlah tempat mereka berbuat kerja, saling berkalih bicara sesama mereka - para Ibu menyiapkan hidangan kuih-muih dan masakan untuk keluarga. Setelah ilmu mendahului adat, maka wanita terbit seperti redup matahari yang dicari-cari sang petani untuk menumbuhkan taman dan perkebunan. Perlunya wanita berilmu. Perlunya ilmu untuk me-wanitakan. Perlunya wanita dalam melangsungkan rutinitas kehidupan - melembutkan apa-apa kekerasan niat sang lelaki atau kekeruhan manusiawi. Saya menjengah ruang kenangan - saya amat rapat dengan Bonda kerana saya satu-satunya bunga di dalam keluarga. Mata kecil saya akan menyoroti setiap kecekapan Bonda memasak lauk-pauk, mengemas pakaian, menjahit butang dan renda; namun semasa itu jiwa saya yang muda, keanak-anakan seperti sudah terlatih bertahun ketika di alam rahim; saya seolah
Image
Malam Berbintang Luka benarkah telingamu pisau menghiris duka.. (Bunga Matahari, Siti Zainon Ismail) Nikmat paling major, besar dan hebat adalah nikmat berseni. Dalam keluarga, sayalah satu-satunya yang mencetus dunia seni visual di dalam rumah kami. Ketika saya kanak-kanak; melukis adalah satu-satunya cara untuk saya memasuki pintu imaginasi tanpa memerlukan kunci. Kemudian, saya lanjutkan keghairahan saya yang muluk kepada dunia seni halus sehinggalah lewat remaja. Meski sekarang, haluan cita-cita sudah berubah menyimpang ke tikungan lebih panjang - kini negeri saya huni adalah dunia kota bahasa; desa bahasa, suara sastra- saya akan sesekali menangkap warna dan merakamkan semula pada dada kanvas yang selalu melembar putih sunyi. Di kamar peribadi, teratur masih di rak- himpunan buku lakaran dan kuas-kuas beraneka bentuk mata. Persis Pago-Pago, saya mahu bikin sajak-sajak juga. Ah, sungguh saya rindu untuk menterjemahkan budi pada muka kosong yang tidak pernah ingkar tump
Image
Dipetik daripada "Katarsis" (1993) Lagi tentang Tuan Z.K. Sejak pertemuan kali kedua (sebelum ini pernah dibimbing di bawahnya) - banyak rahsia tentang rahsia saya cuba terokai dan mengerti meskipun ia masih sebuah rahsia yang tidak mahu memperlihatkan bagaimana rupa, bentuk dan warna. Puisi Z.K. saya kongsikan ini telah mengembalikan tujuan saya yang terpadam dalam kesibukan. Cita-cita murni yang terbit dari nurani. Saya ingin mencari Diri. Banyak hal menyimpang dan arah-arah yang bertikungan. Saya bertanya kepada Sang Angin di dalam mimpi - tetap Ia berdiam dan berlalu tanpa sebarang pujukan. Mungkin jawapan itu sudah saya miliki sejak azali - tapi kita sudah terlupa. Kita sudah terlupa -- bahawa Diri adalah destinasi yang perlu tiba. Kita mesti berjalan ke dalam Diri. Pencarian atas pencarian; begitulah saudara - ada ruang kosong antara akal dan budi. "Katakan padanya aku sedang dalam perjalanan pulang ke gua diriku!" Maha Tuhan Yang Berahsia -- be
Image
Z.K. Perjalanan hanya beberapa jengkal dari meja untuk menuju ke Sang Guru memang mendebarkan buat saya yang masih lompong ilmu di jiwanya. Dia tuntut dari kami sebuah sajak untuk ditulis dalam tempoh singkat. Kata-kata spontan terlarut di dalam lembar putih di genggaman saya - diikuti langkah begitu takut dan resah untuk menghulurkan kepadanya. Malu memang. Bagaimana kalau puisi ini amat buruk dan sukar dipulih? Namun, saya sendiri yang mahu mendekatinya. Saya menawarkan diri - saya mahu jiwa saya dinilai menerusi rampaian bahasa saya masukkan. Peribadi Sang Guru bersahaja dan santun mendengarkan puisi kecil saya nukil.  Dia tidak menafikan. Dia tidak mengiyakan. Ucapan demi ucapan semata mahu puisi saya semakin mekar - langsung sihat segar dan berembun persis disirami secukup air. Komentarnya menyentuh rasa. Terima kasih untuk alir kata-kata lembut dan bersusur terus ke muara jiwa saya. Terima kasih kerana menyedarkan - kita menulis untuk diri yang juga berantai bersama kera
Image
Di jendela kamar menghala rumah para tetangga Kapal terbang kertas. Suatu ketika dahulu -- di jendela ini saya layarkan beberapa kapal terbang kertas dan jatuh di atap-atap rumah tetangg a. Malu pula mengenang kenakalan diri (padahal hal ini berlaku sekitar enam tahun sudah). Namun, ini hobi saya. Saya akan melipat origami menjadi kapal terbang kertas (kadangkala di sebalik lipatan ada puisi kecil atau kata-kata pendek) kemudian saya berimajinasi - kalau kapal ini mampu layar jauh - biarlah sampai kepada seseorang. Biarlah mendarat di wilayah tua dan dingin. Sesiapa sahajalah. Di mana-mana sahajalah. Mungkin kepada tangan orang yang sedang berduka, atau orang yang memerlukan ucapan-ucapan berbentuk pujukan jiwa. Ke pelataran senja di antara horison putih merentang - atau medan ambangan aurora.  Bukankah suatu keinginan kecil untuk mengirim kapal terbang kertas yang bertulis rahsia - dikirimkan menerusi putaran angin? Ya, biar ia terbang, biar ia bawa jauh bahasa